Senin, 21 Desember 2009

Sebuah catatan tentang kotamu Moyudan; Jarwo

Aku lupa kawan, sebuah nama tempat dimana gelombang cinta itu ditanam, tapi aku masih ingat sebuah pot yang mewadahi mahkotanya, yang biasa kau pajang diteras depan rumahmu itu. Disana, telah kubaca semua sajak yang tersirat tentangmu, pada dilembaran hijau jenmani.
Kotamu itu, jalan lurus yang membujur dari Tugu Jogja, kebarat Jati Kencana melintasi Demakijo.
Rindu sekali aku pada Godean, jalan jalan yang melintasi perkampungan Gedongan, Ngijo, Klepu dan hamparan sawah yang menjadikan Jitar Dukuh abadi dalam ingatan.
Ya, itulah kotamu Moyudan.
Rumah yang pada ruang ruangnya menyembunyikan kesederhanaan, dan cinta.
Rumah yang dihiasi taman bunga, dan tanah yang menyuburkan segala benih;
Jeihan Ernesta Nayaka.

Rengat, 14112009.
(Untuk seorang sahabat sekaligus keluarga, dan kota yang mengajarkanku tentang cinta, kesederhanaan)

Selasa, 17 November 2009

Melepasmu

perlahan, hujan mulai reda
ketika waktu menghadirkanmu kembali dalam rintik yang tak terhitung jatuh dikepala.
dalam nyanyian sunyi,
jarum jam beranjak menuju larut.

membacamu lagi pada separuh malam yang tersisa.
walau embun yang turun setelah itu tak menjanjikan apapun.
tak juga sebait sajak meski terlambat.

kubiarkan cinta menempuh jalannya sendiri,
jika melawannya, "dunia" kan terbelah.
"Tapi bisakah kau rajut kasih, dikala rindu-ku selalu mencumbui hati-mu."

Rengat, 27082009.

Sabtu, 07 November 2009

Perempuan berjilbab hitam

Lagi-lagi gemericik hujan subuh itu menampar lamunanku,
diiringi kedatanganmu, perempuan berjilbab hitam.
Aku masih ingat kata katamu di telpon dua malam yang lalu;
“Aku tidak bisa menjalaninya, masih adakah harapan itu?” katamu.

aku bungkam, dan menelan saja pertanyaanmu;
Karena aku tahu setiap pilihan adalah luka,
kekalutan.
Itu sebab kupendam saja segala rindu dan harapan!

Rengat, 30082009.

Minggu, 01 November 2009

Catatan Minggu Pagi ; Sebuah cerita kecil saat menikmati dua potong roti sarikaya selai rasa durian

Masih bersama toxicity-nya system of down, dan dua potong roti sarikaya selai rasa durian yang tersisa di ujung lidah. Sebuah rantang kosong, tempat semua harapan dititipkan. “Aku sudah menerimanya, dan tidak membiarkannya tersisa,”. Tidak usah kau cemaskan jika hanya sebuah rantang, pasti akan kukembalikan.

Lalu telepon selulerku berdering. Terdengar lagi suara rindu yang sudah tak asing diseberang ingatan; Suara yang membutuhkan kepastian, tentang kebahagiaanku. Aku pernah bilang; "Jangan pernah menyiksa diri dengan sesuatu yang belum tentu jadi milik kita. Jika semua mimpi harus kembali dibangun dari awal, mulailah dari sekarang!"

Tuhan pasti mendengar setiap syair yang mengalir dalam do’a-mu. Jalan jalan baru yang akan menuntun-mu pada-Nya. “Hidup bukan hanya sebuah pilihan; Jika kaki sudah dilangkahkan, janji sudah diikrarkan, percayalah akan ada harapan baru,”.

01112009.

Sebuah catatan disaat gerimis ingin mengakhiri kisahnya

Jalan yang baru kulalui seperti dejavu.
Inikah re-inkarnasi pada kematian hidup.
Kembali pada jalan jalan baru.
Sebuah cerita yang dengan terpaksa harus kembali di-eja.
Menuliskan lagi detil detil kisah pada secarik rindu yang ning.
Menghitung helai helai gerimis yang turun disaat luka mulai mengering.
Tapi pada saatnya nanti, ketika kekasih menyatu kembali dengan ruh-Nya.
Ada kalimat yang utuh, setelah huruf huruf yang hilang kembali pulang.
Apapun yang terjadi, Aku, akan menantikan waktu itu.

31102009.

Sabtu, 02 Mei 2009

Sajak Yang Terlambat

Ini sajak yang terlambat, Dek.
Untuk memintal kembali rindu-mu yang ning.
Sajak yang menari di riuhnya malam.

Sejauh apa kau sanggup berlari,
jika gelap dan terang tak pernah mampu kau bedakan?

Berhentilah jika kau lelah.
Maka dalam kepenatan-mu itu, aku menjadi cahaya.
Dan menuntun-mu pada jalan sajak.

Jalan dan sebuah persimpangan,
tempat mengistirahkan sesaat tubuh letih-mu.

Rengat, 28042009.

Senin, 23 Maret 2009

Tak Juga Jera

Huruf huruf kembali berguguran.
Seperti kematian yang tak dikehendaki.

i A
i A
i A
i

Andai saja dia kembali,
ku ingin dia terlahir sebagai sajak. atau,
gelombang cinta yang tumbuh dihalaman rumahku.

Lalu gerimis bermuara disetiap helai kelopak matanya.
Membentuk lagi kata kata yang pernah luruh.
Melahirkan kembali puisi yang lebih tajam dari bibirnya.
Sebuah grafiti tentang 139 hari yang telah berlalu

O, mencincang rindu seperti tak kan habis.
Hujan yang tak kunjung reda memahat luka lewat gemericik.
entah sudah liang keberapa ditikamnya.
Tapi aku tak juga jera.

Indragiri, 23032009.